Mencoba Hal yang Baru


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




Tahun ini ada yang berbeda dengan diriku, aku mencoba untuk rutin berolahraga. Yap, mungkin agak unbelievable seorang cindhi yang jarang sekali gerak kenapa tiba-tiba rutin berolahraga?

 

Sebenarnya aku udh lumayan concern soal mulai berolahraga, cuma belum terealisasi karena sifat magerku terlalu mendominasi. Tapi semua berubah ketika aku ketemu sama teman kuliahku dulu, long story short dia mengajak aku ikut trial olahraga dan body measurement di suatu tempat gym yang lumayan punya nama dan dekat kantor. 


Yausudahlah, aku cobalah.. Asli, karena badanku emang jarang gerak dan kaku habis trial Olahraga itu aku rasanya ga punya energi tersisa. Dan aku juga baru tau ada masa doms otot setelah olahraga dan salah satu cara menyembuhkannya adalah dengan istirahat yang cukup. 

Sedangkan aku, abis trial langsung disambut non-stop standby, jadilah badanku recovery nya lama banget. 


Dan akupun ikut gym itu dengan komitmen 1 tahun. Ini adalah langkah yang besar untuk orang yang jarang gerak seperti aku. Aku ingat pernah posting ini di threads. 




Saat awal perjuangan aku lumayan berat, bukan jarang lagi aku emang tidak pernah berolahraga. Paling hanya jalan kaki saja, dan saat itu karena untuk awal aku pakai PT jadi semua latihanku diatur beliau. Waah, rasanya sungguh luar biasa hahaha.. Habis latihan yang biasanya aku suka jalan, ini aku tidak sanggup akhirnya keseringan ojek online. Masa recovery domsku juga lama sekali. Tapi setelah  2 bulan, tubuhku mulai beradaptasi. Ketika sesiku dengan PT ini berakhir, aku malah lanjut menggunakan PT yang sama untuk 10 sesi lagi. 


Meskipun masa recovery domsku masih lama juga, tapi perlahan aku mulai jarang sakit. Tidur juga nyenyak dan berkualitas. Habis latihan aku masih sanggup jalan ke stasiun LRT. Tapi ini masih jauh dari kata berhasil. Tapi perlahan aku menujunya. 


Memang perubahan ke arah kebaikan itu kadang tidak nyaman, tidak menyenangkan tapi jika kita konsisten dan menjalankan dengan senang itu akan jadi menyenangkan. 

Tujuanku berolahraga bukan untuk jadi kurus atau berotot, tapi untuk menjaga kesehatanku. Aku ingin lebih sehat, aku ingin masa tuaku nanti tidak merepotkan siapapun. 

Doakan aku tetap istiqomah berolahraga yaa.. Dan semoga ada sedikitlah penambahan masa ototku..


Hening yang Bergemuruh


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan.

Begitu banyak skenario berseliweran di kepalaku - semua kemungkinan jika itu benar-benar terjadi.

Tapi anehnya, aku bahkan tak memikirkan kemungkinan jika itu tak terjadi.



Aku ingin berharap, tapi aku takut terjebak dalam angan.

Aku takut, jika nanti aku jatuh kembali ke bumi, hatiku tak cukup kuat untuk menanggungnya.



Aku ingin bercerita, tapi tak tahu kepada siapa.

Aku ingin bertanya, "Apakah akan ada kelanjutannya?"

Namun aku takut, bahwa hanya aku yang berharap… dan dia tidak.



Jadi, untuk saat ini, aku hanya bisa diam dan menunggu.

Menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari… terasa begitu panjang dalam penantian yang sunyi.

Aku ingin tenang, tapi pikiranku dan hatiku tak mau diajak kompromi.

Bahkan setelah yoga pun, semuanya masih berkecamuk - seperti badai di tengah samudera, mengguncang kapal hatiku hingga terombang-ambing, tak berdaya.



Kucoba menarik napas dalam.

Kucoba menenangkan badai dalam diriku.

Kucoba meyakinkan hati ini, bahwa apa pun yang terjadi, pasti itu adalah takdir terbaik dari Allah.

Bahwa apa pun yang ditetapkan-Nya, pasti itu yang terbaik bagiku, dan juga baginya.




Lubang yang Tak Pernah Tertutup


 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Ternyata benar, kehilangan orang tua atau orang terkasih meninggalkan lubang besar di hati -- lubang yang tak akan pernah benar-benar tertutup, seberapa pun waktu berlalu.


Lamunanku kembali pada tiga tahun lalu, saat duniaku seketika berubah. Hari ketika orang yang paling aku sayangi dan hormati berpulang. Saat detak jantungnya mulai melemah dan napasnya perlahan menghilang, aku terus berdoa -- mengharapkan keajaiban terjadi. Namun saat dokter menyatakan waktu kematiannya, seluruh harapanku runtuh. Air mataku tumpah deras. Itu pertama kalinya aku menangis sedalam itu. Tak ada lagi yang bisa aku tahan.


Dengan langkah lemas, aku keluar dari ruang ICU untuk mengambil kartu identitas yang kutitipkan sebelumnya. Seorang perawat menyerahkan kartuku sambil berkata,

“Daripada bolak-balik tukar kartu, kalau mau keluar, kartunya ditinggal di sini saja.”

“Mama sudah nggak ada, Suster,” jawabku pelan. Meski sudah kuusahakan untuk kuat, suaraku tetap bergetar.


“Maaf ya, saya turut berduka.”


Aku hanya mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi.


Langkahku terasa hampa. Aku hanya mengikuti adikku dari belakang tanpa benar-benar sadar ke mana kami berjalan. Pikiranku kosong, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.


Kami tiba di sebuah lorong sunyi. Di depannya ada ruangan kecil dan bangku panjang. Ruangan yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan di rumah sakit. Ruangan yang lebih sering disebut hanya dengan bisik-bisik. Ya, benar -- “Kamar Mayat.”


Aku duduk sendirian di bangku panjang dekat pintu masuk. Kakak dan adikku membantu ayah mempersiapkan keperluan ibu untuk segera dibawa ke sana. Waktu menunjukkan pukul 00.10 dini hari. Udara malam begitu dingin, tapi aku tak merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak sedih, tidak marah. Hanya dingin yang menyelimuti, dan ribuan skenario berputar di kepalaku tentang bagaimana caranya aku menjalani hidup tanpa ibu.


Di ruangan sebelah, tampak terang dan dipenuhi karangan bunga. Rupanya, ada publik figur yang juga berpulang di hari yang sama, pikirku sekilas.


Lalu aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri, menyusun ulang hidup dalam imajinasi: tanpa suara ibu yang membangunkan pagi, tanpa doa yang biasa menyertai kepergianku, tanpa pelukan hangat yang selalu bisa menenangkan badai di hati.


Seorang perempuan kemudian duduk di sampingku.

“Petugasnya ada, Mba?” tanyanya.

“Ada, Mba,” jawabku pelan dan singkat.

“Yang meninggal siapa, Mba?” ia mencoba membuka obrolan.


“Ibu saya, Mba. Kalau Mba?”


“Suami saya.”


Lalu ia mulai bercerita tentang suaminya. Aku mendengarkan, berusaha sopan, meski wajahku datar dan pikiranku tak benar-benar hadir. Aku tahu itu tak pantas. Harusnya aku menunjukkan empati. Tapi aku benar-benar tak bisa berekspresi apa-apa saat itu.


Yang aku pikirkan hanya satu: aku ingin semuanya cepat selesai. Aku ingin ibu segera tiba, menyelesaikan semua urusan administrasi dan dokumen yang diperlukan, lalu kami bisa pulang.
Pulang -- tanpa sosok yang selama ini menjadi pusat dari segala makna pulang itu sendiri.


23062022


Menanti Tanpa Nama


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ



Bagaimana caranya menjelaskan rindu kepada seseorang
Yang entah siapa dan dimana saat ini
Untukmu yang  jauh disana
Terkadang mata ini iri kepada hati
Karena kau ada di hatiku namun tidak tampak di mataku

Aku tidak memiliki alasan pasti
Mengapa sampai saat ini masih ingin menunggumu
Meski kau tak pernah meminta untuk ditunggu dan diharapkan
Hati ini meyakini bahwa kau ada
Meski entah di belahan bumi mana
Yang aku tahu, kelak aku akan menyempurnakan hidupku dengan mu
Disini, disisiku

Maka, saat hatiku telah mengenal fitrahnya
Aku akan berusaha mencintaimu dengan cara yang di cintai-Nya
Sekalipun kita belum pernah bertemu
Mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama
Tersenyum menatap rembulan yang sama
Disanalah tatapanmu dan tatapanku bertemu

"kutipan Buku Tausiyah Cinta"





Kalian & Kami


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Sebenarnya saya telah merasakan hal ini berulang kali, tapi kenapa masih saja terasa sakit ya? Bukankah seharusnya saya sudah kebal dengan perasaan ini?
Masih terbayang, tatapan mata kalian, kata-kata kalian, sikap kalian yang seolah tidak terima dan sedikit meremehkan. Apakah kami pantas untuk diperlakukan seperti itu? 
Jika "hadiah utama" kami tidak berkesempatan untuk mendapatkan, bukankah "hadiah hiburan" yang disediakan sebaiknya diperuntukan untuk kami? Kenapa kalian tetap ingin mendapatkannya? Apakah "hadiah utama" tidak cukup untuk kalian? Apakah kami hanya berperan sebagai tim hore untuk sekedar meramaikan acara saja? 
"Semua berkesempatan yang sama kok" tapi kenyataannya tidak seperti itu, hampir 75% dari semua hadiah yang diberikan didapatkan oleh "kaum" kalian dan kami hanya bisa ikut bertepuk tangan saja.

Ini tidak adil, dari awal saya sudah ingin bersuara, berteriak, tapi apa gunanya? Toh tidak akan ada perubahan setelahnya.
Kenapa kalian sangat anti kepada kami? Padahal kita berkerja keras untuk mencapai tujuan bersama, kita duduk, kita berdiri di tempat yang sama, apa hanya karena status kita yang berbeda kalian menjadi sangat anti kepada kami?

Ibaratnya jika ada sebuah keluarga yang mempunyai anak kandung lalu mengadopsi anak lain di keluarganya, kami lah yang menjadi "anak tiri"nya. Meskipun berulang kali dipastikan kedua orang tua tidak akan pilih kasih, tetap akan terasa perbedaan kasih sayang diantara anak kandung & anak tiri. Dan itu hal yang sangat wajar, kami sadar sehingga kami tidak pernah protes dan mengikuti semua aturan yang kalian buat.

Tapi kami juga manusia biasa, yang masih bisa merasakan sakit hati jika aturan yang kalian buat terlalu menjauhkan kami. Bukankah kalian juga memerlukan bantuan kami untuk mencapai tujuan kalian? Kenapa kita tidak bisa berada di satu tempat yang sama? Kenapa selalu ada jarak atau pembatas diantara kita? 
Apakah kalian sudah merasa kalau kalian terlalu OP sehingga bisa berbuat seenaknya terhadap kami?

Seperti yang saya tulis di awal, saya sudah sering sekali diperlakukan seperti ini, tapi kenapa setiap menerima perlakuan ini masih terasa menyakitkan? Meskipun kali ini yang terparah bukan terjadi pada saya, tapi tetap saja dia adalah "kaum" kami sehingga saya juga merasakan rasa sakitnya.

Doa saya, semoga saya masih bisa bertahan menghadapi semua ini, semoga sikap kalian jadi lebih beik terhadap kami, semoga suatu saat nanti kami bisa menjadi kalian.. Entah kapan semua itu bisa terkabul, tapi semoga saja itu bisa terjadi suatu hari nanti.

Aamiin


Nb. untuk nantinya, saya akan mengurangi niat dan semangat saya jika ada acara tentang kalian, sehingga saya tidak akan terlalu dikecewakan di akhirnya (yang saya yakini ke depannya tidak akan ada acara kalian yang melibatkan kami di dalamnya)

@cindhi.nouvie | 2009. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / A Whole My World

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger