السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Aku capek.
Capek fisik, capek pikiran.
Aku kesal.. Sangat kesal.
Semua drama kelelahan dan kekesalan ini sebenarnya hanya berawal dari satu hal. Satu hal yang sering dianggap sepele, tapi nyatanya sangat krusial: komunikasi.
Sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa, seharusnya mereka bisa lebih komunikatif dan responsif kepada customernya. Isi chat dibaca dengan baik, lalu dibalas segera setelah dibaca. Aku pun tidak menuntut fast response, setidaknya ada balasan atau konfirmasi. Mau selang beberapa jam, atau bahkan keesokan harinya pun tidak masalah.
Tapi yang terjadi, tidak ada balasan sama sekali selama lebih dari seminggu. Lalu, ketika hari-H tiba, hanya beberapa jam sebelum waktu untuk bertemu, barulah aku diberitahu bahwa anda tidak bersedia. I was like, what do you mean? Tempatmu jauh, kami sudah mengosongkan waktu, sudah bersiap untuk menempuh perjalanan panjang, tapi tiba-tiba mendapat kabar seperti ini. Rasanya aku sama sekali tidak dihargai sebagai customer.
Maaf jika akhirnya aku meluapkan kekesalan ini. Aku sudah berusaha keras menahan amarah. Tapi ekspresi wajah dan nada suaraku tetap tidak bisa berbohong. Aku sadar, aku berada di rumah orang, mana mungkin aku berteriak atau berbicara dengan nada tinggi. Jadi, semua itu kutahan, sampai wajahku memerah karena menahan emosi.
Sejujurnya, setelah semua ini, pandanganku terhadap anda jadi tidak lagi objektif. Sulit sekali bagiku untuk bersikap netral setelah kekecewaan ini. Meski begitu, aku tetap berusaha untuk tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Aku masih mencoba "menghargai", jika anda membalas pesan.
Aku pun sadar, mungkin aku terdengar egois. Ada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bersalah, tapi ikut terdampak oleh kemauanku. Di sisi lain, aku sangat bersyukur punya partner yang begitu sabar menghadapi semua ini. Dia berusaha menuruti sekaligus memahami keinginanku.
Aku tahu, aku terlalu ingin mengendalikan segalanya. A, B, C, D, semuanya aku yang urus. Seakan tidak memberi ruang untuk partnerku. Kadang pilihanku pun merepotkan dia. Aku jadi bertanya-tanya, apakah dia menganggapku terlalu mendominasi? Kalau “bossy”, mungkin tidak, ya. Tapi tetap saja, ada rasa khawatir di dalam diriku. Nanti akan aku tanyakan langsung padanya, saat dia sudah bisa diganggu.
Dan sekarang, meski rasa lelah, letih, dan kesal ini masih bergejolak, aku tahu aku harus tetap berjalan. Semoga ke depannya semua bisa baik-baik saja. Tidak ada lagi hal-hal yang bikin sakit kepala.
Aamiin.

0 comments:
Posting Komentar