Karena Ukuran Kita Tak Sama

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Karena Ukuran Kita Tak Sama
Oleh: Salim A. Fillah



***

Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi

***

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

***

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahasa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku. Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Sepenuh cinta,


Salim A. Fillah

Label Halalnya Mana ???

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Assalamu'alaikum wr. wb.

Beberapa waktu yang lalu, temen w beli snack rumput laut T*eK*eNoi yang ukuran besar, wiihh.. aji mumpung banget, tau aja w lagi laper... haghagh

Ga tau kenapa, w jadi pengen liat tuh bungkus snack nya..
Dan tau yg w temuin apa?
Ternyata GA ADA LABEL HALALNYA .. Tambah penasaran kan w, w emg pernah beli ini dan dulu ada label halalnya koq..

Searchinglah w T*eK*eNoi halal apa ga.. Dan yang w temuin, T*eK*eNoi itu halal..
Pas w samain gambar di internet dan bungkus snack itu, ternyata label halalnya itu ditutupin..
Cekidot..




See ?? Mending kalau Temen2 menghadapi hal yg seperti ini, ga usah dimakan aja deh..
Emang si,, rasanya tuh pengen nyobain, apalagi kalo temen2 yg lain udh makan,, jadi tambah ngiler.. Tapi, Coba pahami Hadits ini..



Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ…

“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjauhi perkara-perkara yang syubhat (samar) sungguh telah melakukan penjagaan terhadap agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara-perkara yang syubhat (samar) niscaya akan terjatuh dalam sesuatu yang haram , seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar hima (kebun hijau milik pemerintah yang tak sembarang orang boleh memasukinya), suatu saat dia akan tergoda untuk menggembalakan (hewan gembalaannya) di lokasi tersebut. Ingatlah setiap raja itu mempunyai hima, dan hima milik Allah l adalah hal-hal yang diharamkan-Nya….” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir z)

Semoga Postingan w ini bermanfaat bagi temen2 semua,, Memang bener kata bang 'aji Roma Irama, yg haram itu sesuatu yang enak dan asik..
Tapi, mending mana menikmati sesuatu yg enak dan asik di dunia ini sementara waktu aja atau menikmati sesuatu yg enak dan asik di akhirat kelak dan kekal??

It's your choice..

(Hanyaakudanduniaku.blogspot.com - 2012)




Supir Taksi vs Pak Polisi

Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke kantor di daerah benhil pukul 6.00 pagi. Karna bis jurusan Blok M – Cileungsi yang ditunggu tak kunjung tiba, aku naik mobil omprengan (mobil pribadi yg menawarkan tumpangan kepada org2 bekerja yg searah).

Ketika mobil keluar tol di dpn komdak (polda), aku melihat di sebelah mobil kami, ada taksi yang tidak sengaja menyenggol polisi yg melintas di depan taksi tersebut. Kontan, sang polisi itu marah karna merasa tidak dihargai.
Dengan tatapan dingin, pak polisi menyuruh supir taksi keluar dan meninggalkan taksinya. Panik, supir taksi yang sudah setengah baya itu memohon-mohon kepada pak polisi itu sambil menelungkupkan tangannya. Penumpang taksi itu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan akhirnya pak supir itu pun keluar dari taksinya untuk menghadapi pak polisi yg setengah marah itu.

Astagfirullah, aku tau ini sebagai pembelajaran bagi pengguna jalan yg lain supaya jangan lengah saat di jalan raya. Tapi, apakah harus seperti itu caranya?
Dengan wajah yg mengiba, si bapak supir taksi itu sudah meminta ampun.. Tidakkah ada sedikit kebaikan di hati pak polisi tsb.

Aku membayangkan, bagaimana bila supir taksi itu sedang dalam masalah/kesulitan sehingga tidak sengaja menyenggol pak polisi. Lagipula tidak terlalu keras /kencang koq..
Langsung terlintas dalam benakku, bagaimana bila supir taksi itu adalah ayahku.. Astagfirullah,,

Pikiranku pun melayang membayangkan wajah lelah ayahku, bagaimana kerasnya beliau bekerja untuk menghidupi keluarganya, membiayai kebutuhan keluarganya..
Meskipun, wajah dan tubuhnya lelah tapi ketika di rumah beliau tidak menampakkan kelelahannya kepada kami, anak-anaknya..

Beliau masih bersenda gurau dengan kami.. Masih mendengarkan keluh kesah kami..
Maafkan kami papa, Maafkan aku pa..
Jika selama ini aku belum menjadi anak yang engkau banggakan, yang bisa membahagiakan engkau..

I proud to be your daughter, paa..

Luv you coz Allah, Paa..

Subhanallah, cara Allah mengingatkan aku sungguh unik.. Allah ingin mengingatkanku tentang perjuangan ayah, tentang kesabaran beliau menghadapi berbagai permintaan kami, tentang betapa kurangnya aku berterima kasih pada Ayahku.. Terima kasih ya Rabbil Izati..


@cindhinouvie | 2009. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / A Whole My World

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger