When Life Feels Too Heavy

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 



Sometimes life gets so crowded and overwhelming that all you want is to pause, to breathe, to step away, to just… Disappear for a little while. This isn’t a goodbye or a dramatic escape.. It’s just an honest moment of exhaustion, a small confession about how heavy things can feel.


I feel like disappearing for a while.
Lately, everything feels so overwhelming. I just want to pause, do nothing for a bit, just for a moment.
But I can’t. There’s still so much to do, so many things waiting to be finished.


I’m exhausted, both physically and mentally.
Sometimes I wish I could share this exhaustion with someone, but I honestly don’t even know who to talk to.


Ironically, I often end up turning to ChatGPT for second opinions or quick answers, haha.
It sounds kind of pathetic, doesn’t it?
But at times like this, I just need another perspective right away, and right now, it’s the only “person” who can give it.


The truth is, I don’t want to keep bothering the person I actually need help from.
I know they’re busy and have their own things to focus on.
But there are some things only they can provide, documents, personal data, things I simply can’t get anywhere else.
So even though I feel bad for always messaging them when they might need time to study or rest, I don’t really have another option.
I just hope they understand.


I also hope that in the next few days I can take a break from all of this.
My own work is starting to fall behind because of it, but then again

If I don’t handle it, who else will?


Oh well…
I just needed to get this off my chest. Please don’t take it too seriously.
I’m just tired. I just want to rest. Maybe even disappear for a while.


And maybe that’s okay, to feel tired, to pause, to admit that things are heavy. Because even in the middle of exhaustion, there’s always a small space for hope, for healing, for starting again. This isn’t the end of my story.. It’s just a quiet moment in between. I believe I’ll find my rhythm again, and when I do, I’ll return with a lighter heart and a clearer mind.



Posted by
A Whole My World

More

Aku Capek

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 




Aku capek.
Capek fisik, capek pikiran.
Aku kesal..  Sangat kesal.


Semua drama kelelahan dan kekesalan ini sebenarnya hanya berawal dari satu hal. Satu hal yang sering dianggap sepele, tapi nyatanya sangat krusial: komunikasi.


Sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa, seharusnya mereka bisa lebih komunikatif dan responsif kepada customernya. Isi chat dibaca dengan baik, lalu dibalas segera setelah dibaca. Aku pun tidak menuntut fast response, setidaknya ada balasan atau konfirmasi. Mau selang beberapa jam, atau bahkan keesokan harinya pun tidak masalah.


Tapi yang terjadi, tidak ada balasan sama sekali selama lebih dari seminggu. Lalu, ketika hari-H tiba, hanya beberapa jam sebelum waktu untuk bertemu, barulah aku diberitahu bahwa anda tidak bersedia. I was like, what do you mean? Tempatmu jauh, kami sudah mengosongkan waktu, sudah bersiap untuk menempuh perjalanan panjang, tapi tiba-tiba mendapat kabar seperti ini. Rasanya aku sama sekali tidak dihargai sebagai customer.


Maaf jika akhirnya aku meluapkan kekesalan ini. Aku sudah berusaha keras menahan amarah. Tapi ekspresi wajah dan nada suaraku tetap tidak bisa berbohong. Aku sadar, aku berada di rumah orang, mana mungkin aku berteriak atau berbicara dengan nada tinggi. Jadi, semua itu kutahan, sampai wajahku memerah karena menahan emosi.




Sejujurnya, setelah semua ini, pandanganku terhadap anda jadi tidak lagi objektif. Sulit sekali bagiku untuk bersikap netral setelah kekecewaan ini. Meski begitu, aku tetap berusaha untuk tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Aku masih mencoba "menghargai", jika anda membalas pesan.


Aku pun sadar, mungkin aku terdengar egois. Ada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bersalah, tapi ikut terdampak oleh kemauanku. Di sisi lain, aku sangat bersyukur punya partner yang begitu sabar menghadapi semua ini. Dia berusaha menuruti sekaligus memahami keinginanku.


Aku tahu, aku terlalu ingin mengendalikan segalanya. A, B, C, D, semuanya aku yang urus. Seakan tidak memberi ruang untuk partnerku. Kadang pilihanku pun merepotkan dia. Aku jadi bertanya-tanya, apakah dia menganggapku terlalu mendominasi? Kalau “bossy”, mungkin tidak, ya. Tapi tetap saja, ada rasa khawatir di dalam diriku. Nanti akan aku tanyakan langsung padanya, saat dia sudah bisa diganggu.


Dan sekarang, meski rasa lelah, letih, dan kesal ini masih bergejolak, aku tahu aku harus tetap berjalan. Semoga ke depannya semua bisa baik-baik saja. Tidak ada lagi hal-hal yang bikin sakit kepala.



Aamiin.

Posted by
A Whole My World

More

Fitting In or Withdrawing




السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Sometimes you may feel like an outsider—even in a place you’ve been for a long time. You try to fit in, yet newcomers are welcomed more easily, even though the others have known you far longer than those new people.

When you try something new, something they could never have imagined, but instead of appreciating it, they belittle you. Yet eventually, they follow your lead—though never in ways better than what you’ve done—still, they make comments about it.

When they openly mention, right in front of you, that they have a group chat without you, and even talk about the topics from that group while you’re there.
When they go out together and somehow “forget” to invite you.
When they celebrate every friend’s birthday except yours (and you don’t even expect a celebration—just remembering your birthday and saying “happy birthday” would already mean a lot).


If you’ve experienced all of this, you really only have two choices:
The first is to keep trying—overthinking, adjusting yourself, and push yourself as hard as you can to be included in their circle. (Their circle isn’t actually bad—it’s genuinely a good environment.)
The second is stop caring about how they treat you, and instead embrace distance—choosing to detach yourself from them.


Of course, both choices come with pros and cons.
If you choose the first option, the pros is that, over time, you’ll eventually become part of their circle, be accepted, and belong in their environment. But the cons is But until then, you’ll constantly question yourself and change who you are. And you won’t know how long it will take before you’re truly accepted.

If you choose the second option, the pros is peace of mind. You won’t have to worry about how to act to gain their acceptance. Your life will be less dramatic, and you won’t need to change who you are. But the cons is loneliness. You’ll be left out, unnoticed, and often on your own.

If you’re someone who doesn’t mind being alone and doesn’t rely on others, this isn’t a big deal. But if you’re not that kind of person, I would suggest choosing the first option.


Life is often about choosing between imperfect options. And whatever you decide, you must accept it wholeheartedly and live with the consequences.

Neither choice defines your worth. Whether you fight to belong or choose to stand apart, remember that your value isn’t measured by their acceptance. You are already enough as you are.


If you can be at peace on your own, solitude can become strength, not weakness. 

And if you choose to keep trying, let it be from a place of growth, not desperation—because persistence builds resilience.


Life doesn’t always give us perfect options, but every choice teaches us something. Whatever path you take, walk it with confidence, kindness to yourself, and faith that you are worthy of connection and happiness.





Posted by
A Whole My World

More

Mencoba Hal yang Baru


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




Tahun ini ada yang berbeda dengan diriku, aku mencoba untuk rutin berolahraga. Yap, mungkin agak unbelievable seorang cindhi yang jarang sekali gerak kenapa tiba-tiba rutin berolahraga?

 

Sebenarnya aku udh lumayan concern soal mulai berolahraga, cuma belum terealisasi karena sifat magerku terlalu mendominasi. Tapi semua berubah ketika aku ketemu sama teman kuliahku dulu, long story short dia mengajak aku ikut trial olahraga dan body measurement di suatu tempat gym yang lumayan punya nama dan dekat kantor. 


Yausudahlah, aku cobalah.. Asli, karena badanku emang jarang gerak dan kaku habis trial Olahraga itu aku rasanya ga punya energi tersisa. Dan aku juga baru tau ada masa doms otot setelah olahraga dan salah satu cara menyembuhkannya adalah dengan istirahat yang cukup. 

Sedangkan aku, abis trial langsung disambut non-stop standby, jadilah badanku recovery nya lama banget. 


Dan akupun ikut gym itu dengan komitmen 1 tahun. Ini adalah langkah yang besar untuk orang yang jarang gerak seperti aku. Aku ingat pernah posting ini di threads. 




Saat awal perjuangan aku lumayan berat, bukan jarang lagi aku emang tidak pernah berolahraga. Paling hanya jalan kaki saja, dan saat itu karena untuk awal aku pakai PT jadi semua latihanku diatur beliau. Waah, rasanya sungguh luar biasa hahaha.. Habis latihan yang biasanya aku suka jalan, ini aku tidak sanggup akhirnya keseringan ojek online. Masa recovery domsku juga lama sekali. Tapi setelah  2 bulan, tubuhku mulai beradaptasi. Ketika sesiku dengan PT ini berakhir, aku malah lanjut menggunakan PT yang sama untuk 10 sesi lagi. 


Meskipun masa recovery domsku masih lama juga, tapi perlahan aku mulai jarang sakit. Tidur juga nyenyak dan berkualitas. Habis latihan aku masih sanggup jalan ke stasiun LRT. Tapi ini masih jauh dari kata berhasil. Tapi perlahan aku menujunya. 


Memang perubahan ke arah kebaikan itu kadang tidak nyaman, tidak menyenangkan tapi jika kita konsisten dan menjalankan dengan senang itu akan jadi menyenangkan. 

Tujuanku berolahraga bukan untuk jadi kurus atau berotot, tapi untuk menjaga kesehatanku. Aku ingin lebih sehat, aku ingin masa tuaku nanti tidak merepotkan siapapun. 

Doakan aku tetap istiqomah berolahraga yaa.. Dan semoga ada sedikitlah penambahan masa ototku..


Posted by
A Whole My World

More

Hening yang Bergemuruh


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan.

Begitu banyak skenario berseliweran di kepalaku - semua kemungkinan jika itu benar-benar terjadi.

Tapi anehnya, aku bahkan tak memikirkan kemungkinan jika itu tak terjadi.



Aku ingin berharap, tapi aku takut terjebak dalam angan.

Aku takut, jika nanti aku jatuh kembali ke bumi, hatiku tak cukup kuat untuk menanggungnya.



Aku ingin bercerita, tapi tak tahu kepada siapa.

Aku ingin bertanya, "Apakah akan ada kelanjutannya?"

Namun aku takut, bahwa hanya aku yang berharap… dan dia tidak.



Jadi, untuk saat ini, aku hanya bisa diam dan menunggu.

Menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari… terasa begitu panjang dalam penantian yang sunyi.

Aku ingin tenang, tapi pikiranku dan hatiku tak mau diajak kompromi.

Bahkan setelah yoga pun, semuanya masih berkecamuk - seperti badai di tengah samudera, mengguncang kapal hatiku hingga terombang-ambing, tak berdaya.



Kucoba menarik napas dalam.

Kucoba menenangkan badai dalam diriku.

Kucoba meyakinkan hati ini, bahwa apa pun yang terjadi, pasti itu adalah takdir terbaik dari Allah.

Bahwa apa pun yang ditetapkan-Nya, pasti itu yang terbaik bagiku, dan juga baginya.




Posted by
A Whole My World

More

Lubang yang Tak Pernah Tertutup


 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Ternyata benar, kehilangan orang tua atau orang terkasih meninggalkan lubang besar di hati -- lubang yang tak akan pernah benar-benar tertutup, seberapa pun waktu berlalu.


Lamunanku kembali pada tiga tahun lalu, saat duniaku seketika berubah. Hari ketika orang yang paling aku sayangi dan hormati berpulang. Saat detak jantungnya mulai melemah dan napasnya perlahan menghilang, aku terus berdoa -- mengharapkan keajaiban terjadi. Namun saat dokter menyatakan waktu kematiannya, seluruh harapanku runtuh. Air mataku tumpah deras. Itu pertama kalinya aku menangis sedalam itu. Tak ada lagi yang bisa aku tahan.


Dengan langkah lemas, aku keluar dari ruang ICU untuk mengambil kartu identitas yang kutitipkan sebelumnya. Seorang perawat menyerahkan kartuku sambil berkata,

“Daripada bolak-balik tukar kartu, kalau mau keluar, kartunya ditinggal di sini saja.”

“Mama sudah nggak ada, Suster,” jawabku pelan. Meski sudah kuusahakan untuk kuat, suaraku tetap bergetar.


“Maaf ya, saya turut berduka.”


Aku hanya mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi.


Langkahku terasa hampa. Aku hanya mengikuti adikku dari belakang tanpa benar-benar sadar ke mana kami berjalan. Pikiranku kosong, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.


Kami tiba di sebuah lorong sunyi. Di depannya ada ruangan kecil dan bangku panjang. Ruangan yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan di rumah sakit. Ruangan yang lebih sering disebut hanya dengan bisik-bisik. Ya, benar -- “Kamar Mayat.”


Aku duduk sendirian di bangku panjang dekat pintu masuk. Kakak dan adikku membantu ayah mempersiapkan keperluan ibu untuk segera dibawa ke sana. Waktu menunjukkan pukul 00.10 dini hari. Udara malam begitu dingin, tapi aku tak merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak sedih, tidak marah. Hanya dingin yang menyelimuti, dan ribuan skenario berputar di kepalaku tentang bagaimana caranya aku menjalani hidup tanpa ibu.


Di ruangan sebelah, tampak terang dan dipenuhi karangan bunga. Rupanya, ada publik figur yang juga berpulang di hari yang sama, pikirku sekilas.


Lalu aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri, menyusun ulang hidup dalam imajinasi: tanpa suara ibu yang membangunkan pagi, tanpa doa yang biasa menyertai kepergianku, tanpa pelukan hangat yang selalu bisa menenangkan badai di hati.


Seorang perempuan kemudian duduk di sampingku.

“Petugasnya ada, Mba?” tanyanya.

“Ada, Mba,” jawabku pelan dan singkat.

“Yang meninggal siapa, Mba?” ia mencoba membuka obrolan.


“Ibu saya, Mba. Kalau Mba?”


“Suami saya.”


Lalu ia mulai bercerita tentang suaminya. Aku mendengarkan, berusaha sopan, meski wajahku datar dan pikiranku tak benar-benar hadir. Aku tahu itu tak pantas. Harusnya aku menunjukkan empati. Tapi aku benar-benar tak bisa berekspresi apa-apa saat itu.


Yang aku pikirkan hanya satu: aku ingin semuanya cepat selesai. Aku ingin ibu segera tiba, menyelesaikan semua urusan administrasi dan dokumen yang diperlukan, lalu kami bisa pulang.
Pulang -- tanpa sosok yang selama ini menjadi pusat dari segala makna pulang itu sendiri.


23062022


Posted by
A Whole My World

More

Menanti Tanpa Nama


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ



Bagaimana caranya menjelaskan rindu kepada seseorang
Yang entah siapa dan dimana saat ini
Untukmu yang  jauh disana
Terkadang mata ini iri kepada hati
Karena kau ada di hatiku namun tidak tampak di mataku

Aku tidak memiliki alasan pasti
Mengapa sampai saat ini masih ingin menunggumu
Meski kau tak pernah meminta untuk ditunggu dan diharapkan
Hati ini meyakini bahwa kau ada
Meski entah di belahan bumi mana
Yang aku tahu, kelak aku akan menyempurnakan hidupku dengan mu
Disini, disisiku

Maka, saat hatiku telah mengenal fitrahnya
Aku akan berusaha mencintaimu dengan cara yang di cintai-Nya
Sekalipun kita belum pernah bertemu
Mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama
Tersenyum menatap rembulan yang sama
Disanalah tatapanmu dan tatapanku bertemu

"kutipan Buku Tausiyah Cinta"





Posted by
A Whole My World

More

Kalian & Kami


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Sebenarnya saya telah merasakan hal ini berulang kali, tapi kenapa masih saja terasa sakit ya? Bukankah seharusnya saya sudah kebal dengan perasaan ini?
Masih terbayang, tatapan mata kalian, kata-kata kalian, sikap kalian yang seolah tidak terima dan sedikit meremehkan. Apakah kami pantas untuk diperlakukan seperti itu? 
Jika "hadiah utama" kami tidak berkesempatan untuk mendapatkan, bukankah "hadiah hiburan" yang disediakan sebaiknya diperuntukan untuk kami? Kenapa kalian tetap ingin mendapatkannya? Apakah "hadiah utama" tidak cukup untuk kalian? Apakah kami hanya berperan sebagai tim hore untuk sekedar meramaikan acara saja? 
"Semua berkesempatan yang sama kok" tapi kenyataannya tidak seperti itu, hampir 75% dari semua hadiah yang diberikan didapatkan oleh "kaum" kalian dan kami hanya bisa ikut bertepuk tangan saja.

Ini tidak adil, dari awal saya sudah ingin bersuara, berteriak, tapi apa gunanya? Toh tidak akan ada perubahan setelahnya.
Kenapa kalian sangat anti kepada kami? Padahal kita berkerja keras untuk mencapai tujuan bersama, kita duduk, kita berdiri di tempat yang sama, apa hanya karena status kita yang berbeda kalian menjadi sangat anti kepada kami?

Ibaratnya jika ada sebuah keluarga yang mempunyai anak kandung lalu mengadopsi anak lain di keluarganya, kami lah yang menjadi "anak tiri"nya. Meskipun berulang kali dipastikan kedua orang tua tidak akan pilih kasih, tetap akan terasa perbedaan kasih sayang diantara anak kandung & anak tiri. Dan itu hal yang sangat wajar, kami sadar sehingga kami tidak pernah protes dan mengikuti semua aturan yang kalian buat.

Tapi kami juga manusia biasa, yang masih bisa merasakan sakit hati jika aturan yang kalian buat terlalu menjauhkan kami. Bukankah kalian juga memerlukan bantuan kami untuk mencapai tujuan kalian? Kenapa kita tidak bisa berada di satu tempat yang sama? Kenapa selalu ada jarak atau pembatas diantara kita? 
Apakah kalian sudah merasa kalau kalian terlalu OP sehingga bisa berbuat seenaknya terhadap kami?

Seperti yang saya tulis di awal, saya sudah sering sekali diperlakukan seperti ini, tapi kenapa setiap menerima perlakuan ini masih terasa menyakitkan? Meskipun kali ini yang terparah bukan terjadi pada saya, tapi tetap saja dia adalah "kaum" kami sehingga saya juga merasakan rasa sakitnya.

Doa saya, semoga saya masih bisa bertahan menghadapi semua ini, semoga sikap kalian jadi lebih beik terhadap kami, semoga suatu saat nanti kami bisa menjadi kalian.. Entah kapan semua itu bisa terkabul, tapi semoga saja itu bisa terjadi suatu hari nanti.

Aamiin


Nb. untuk nantinya, saya akan mengurangi niat dan semangat saya jika ada acara tentang kalian, sehingga saya tidak akan terlalu dikecewakan di akhirnya (yang saya yakini ke depannya tidak akan ada acara kalian yang melibatkan kami di dalamnya)

Posted by
A Whole My World

More
@cindhi.nouvie | 2009. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / A Whole My World

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger