Lubang yang Tak Pernah Tertutup


 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Ternyata benar, kehilangan orang tua atau orang terkasih meninggalkan lubang besar di hati -- lubang yang tak akan pernah benar-benar tertutup, seberapa pun waktu berlalu.


Lamunanku kembali pada tiga tahun lalu, saat duniaku seketika berubah. Hari ketika orang yang paling aku sayangi dan hormati berpulang. Saat detak jantungnya mulai melemah dan napasnya perlahan menghilang, aku terus berdoa -- mengharapkan keajaiban terjadi. Namun saat dokter menyatakan waktu kematiannya, seluruh harapanku runtuh. Air mataku tumpah deras. Itu pertama kalinya aku menangis sedalam itu. Tak ada lagi yang bisa aku tahan.


Dengan langkah lemas, aku keluar dari ruang ICU untuk mengambil kartu identitas yang kutitipkan sebelumnya. Seorang perawat menyerahkan kartuku sambil berkata,

“Daripada bolak-balik tukar kartu, kalau mau keluar, kartunya ditinggal di sini saja.”

“Mama sudah nggak ada, Suster,” jawabku pelan. Meski sudah kuusahakan untuk kuat, suaraku tetap bergetar.


“Maaf ya, saya turut berduka.”


Aku hanya mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi.


Langkahku terasa hampa. Aku hanya mengikuti adikku dari belakang tanpa benar-benar sadar ke mana kami berjalan. Pikiranku kosong, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.


Kami tiba di sebuah lorong sunyi. Di depannya ada ruangan kecil dan bangku panjang. Ruangan yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan di rumah sakit. Ruangan yang lebih sering disebut hanya dengan bisik-bisik. Ya, benar -- “Kamar Mayat.”


Aku duduk sendirian di bangku panjang dekat pintu masuk. Kakak dan adikku membantu ayah mempersiapkan keperluan ibu untuk segera dibawa ke sana. Waktu menunjukkan pukul 00.10 dini hari. Udara malam begitu dingin, tapi aku tak merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak sedih, tidak marah. Hanya dingin yang menyelimuti, dan ribuan skenario berputar di kepalaku tentang bagaimana caranya aku menjalani hidup tanpa ibu.


Di ruangan sebelah, tampak terang dan dipenuhi karangan bunga. Rupanya, ada publik figur yang juga berpulang di hari yang sama, pikirku sekilas.


Lalu aku kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri, menyusun ulang hidup dalam imajinasi: tanpa suara ibu yang membangunkan pagi, tanpa doa yang biasa menyertai kepergianku, tanpa pelukan hangat yang selalu bisa menenangkan badai di hati.


Seorang perempuan kemudian duduk di sampingku.

“Petugasnya ada, Mba?” tanyanya.

“Ada, Mba,” jawabku pelan dan singkat.

“Yang meninggal siapa, Mba?” ia mencoba membuka obrolan.


“Ibu saya, Mba. Kalau Mba?”


“Suami saya.”


Lalu ia mulai bercerita tentang suaminya. Aku mendengarkan, berusaha sopan, meski wajahku datar dan pikiranku tak benar-benar hadir. Aku tahu itu tak pantas. Harusnya aku menunjukkan empati. Tapi aku benar-benar tak bisa berekspresi apa-apa saat itu.


Yang aku pikirkan hanya satu: aku ingin semuanya cepat selesai. Aku ingin ibu segera tiba, menyelesaikan semua urusan administrasi dan dokumen yang diperlukan, lalu kami bisa pulang.
Pulang -- tanpa sosok yang selama ini menjadi pusat dari segala makna pulang itu sendiri.


23062022


0 comments:

Posting Komentar

@cindhi.nouvie | 2009. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / A Whole My World

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger